Salah satu masalah yang seringkali dikeluhkan banyak orang tua selama ini terhadap perilaku anak adalah anak tidak menuruti perintah orang tua.
Untuk mengimbangi tanggapan anak, orang tua pun mengerahkan jurus andalannya: memerintah dengan ancaman. Misal, mengancam akan menghapus uang jajan, atau tak akan mengajak anak berlibur di akhir pekan nanti, atau menakut-nakuti si anak dengan menghadirkan figur dokter, polisi, atau hantu.
Pertanyaan yang muncul, apakah setiap kali anak-anak tidak mengindahkan kata-kata orang tua, mereka lantas diancam atau ditakut-takuti? Sebagian ada yang menjawab ya, namun sebagian ada pula yang mengatakan, tidak seharusnya melakukan hal itu.
Jawaban yang timbul tergantung dari seberapa luas wawasan dan pengetahuan orang tua seputar persoalan mendidik anak. Jika orang tua hanya mengandalkan warisan pengalaman yang diturunkan orang tua sebelumnya, maka jawabannya biasanya adalah yang pertama. Yakni, tidak mengapa mengancam atau menakut-nakuti anak demi “kebaikan mereka”.
Yang terjadi sebenarnya bukan demi kebaikan mereka, melainkan demi kenyamanan orang tua. Apa sebabnya? Karena ancaman membuat posisi orang tua di atas angin, memegang kuasa, dan mengendalikan situasi sesuai dengan keinginan mereka.
Hasil yang diperoleh pun bisa segera kelihatan, anak segera mengikuti keinginan orang tua tanpa butuh waktu lama. Orang tua tampaknya berhasil dengan cara seperti ini. Karena dinilai berhasil, metode ini pun cenderung untuk diulang kembali pada kesempatan berikutnya. Namun di balik keberhasilan yang tampak, sejatinya cara ini mengandung potensi negatif. Mari kita lihat.
Metode ancaman memiliki kelemahan, di antaranya, pertama, anak tidak terbiasa untuk diajak berpikir kritis. Karena orang tua menggunakan cara jalan pintas (short cut) untuk mencapai hasil yang diinginkan, anak hanya mempunyai dua pilihan, menurut (ia akan aman) atau tidak menurut (ia akan tidak aman). Tanpa proses berpikir kritis yang cukup, anak tentu saja akan memilih menurut.
Kelemahan kedua, ancaman akan membuat jiwa anak kerdil dan cenderung penakut. Semua serba mengkhawatirkan baginya, karena ia senantiasa dihadapkan hanya pada dua pilihan. Yang satu menguntungkan, dan yang lainnya merugikan. Anak kemudian terbiasa berpikir pragmatis. Lagi-lagi ia tidak dilatih untuk menganalisis dan bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya.
Kelemahan ketiga, orang tua memiliki keterbatasan dalam mengancam anak. Misal, ketika masih usia lima tahun, ia mungkin saja sangat takut terhadap polisi, berkat ancaman yang sehari-hari ia dapatkan. Namun seiring berjalannya waktu dan usianya yang juga makin bertambah, ia mendapat pengetahuan yang berbeda tentang sisi-sisi baik seorang polisi. Sehingga ancaman dengan menggunakan figur tersebut tidak lagi manjur untuk diterapkan. Begitupun dengan jenis-jenis ancaman lainnya.
Oleh karena itu, orang tua hendaknya terus berusaha mencari cara-cara yang kreatif dalam mengiringi pertumbuhan anak. Bukan hanya mengandalkan warisan pengetahuan sebelumnya yang cenderung mengandung mitos dan unsur-unsur negatif dalam membesarkan anak, karena anak pun mempunyai akal dan hati yang seharusnya ditumbuhsuburkan dengan metode mendidik yang benar. (Mauliah Mulkin, pemerhati pendidikan)
Sahabat Keluarga